JAMBERITA.COM- Kata Imang Jayo dengan artikulasi yang tegas dan jelas, ia mengurai bagaimana relasi masyarakat Lekuk 50 Tumbi Lempur, Kabupaten Kerinci, Jambi dengan hutan adat mereka. Imang Jayo merupakan generasi muda dari masyarakat hukum adat Lekuk 50 Tumbi Lempur. Imang mengatakan bahwa di hutan adat terdapat mata air yang mengalir ke Danau Lingkat. Dari danau kemudian mengalir ke sawah-sawah masyarakat di Lempur Tengah.
“Hutan adat merupakan identitas. Bisa dibayangkan bila tidak ada hutan, maka air akan kering, padi tidak menjadi, kenduri sko tidak bisa diadakan,” kata Imang Jayo.
Kenduri Sko sudah menjadi bagian dan tidak bisa dipisahkan dari masyarakat hukum adat Lekuk 50 Tumbi Lempur. Kenduri Sko merupakan upacara adat untuk mengucapkan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas hasil panen yang diterima masyarakat. Kenduri Sko juga momen menurunkan pusaka dan ajang bagi masyarakat untuk bersilaturahmi. Biasanya para kerabat yang merantau akan pulang ketika Kenduri Sko dihelat. Bisa dibayangkan bagaimana tidak ada hutan. Kehidupan terancam, hubungan kekerabatan apalagi.
Disampaikan Imang dalam Festival Pekan Wirawana diselenggarakan di Lempur Tengah. Pekan Wirawana, sebuah festival budaya yang berfokus pada pemajuan kebudayaan berbasis hutan adat, digelar pada 8-10 November 2024 di Lekuk 50 Tumbi Lempur di Kabupaten Kerinci, Jambi.
Festival ini merupakan hasil kolaborasi antara Wirawana dari 29 titik Masyarakat Hukum Adat (MHA) di empat kabupaten di Jambi—Merangin, Sarolangun, Bungo, dan Kerinci, beserta Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Konsorsium Siginjai (KKI Warsi, Cappa Keadilan Ekologi, Yayasan Satu Nama, dan Wahana Mitra Mandiri), Perkumpulan Eksotika Desa Lestari, serta Masyarakat Hukum Adat Lekuk Lima Puluh Tumbi Lempur yang bertindak sebagai tuan rumah.
Pekan Wirawana bertujuan untuk mempublikasikan hasil temu kenali kebudayaan yang diperoleh oleh para wirawana dalam program Wana Budaya dan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga dan melestarikan hutan adat untuk kesejahteraan masyarakat adat serta kelestarian alam.
“Total ada 2033 objek kebudayaan yang telah didokumentasikan oleh Warawina di 29 hutan adat,” kata Julianus Limbeng, M.Si Ketua Tim Kerja Wanabudaya.
Dari kegiatan tersebut telah mendokumentasikan dan mempublikasikan objek kebudayaan tersebut mencakup pakaian daerah, senjata khas daerah, rumah adat, wadah tradisional, tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, permainan rakyat, olahraga tradisional, pengetahuan tradisional seperti obat-obatan yang berada di sekitar hutan adat. Pencatatan ini diharapkan tidak hanya sebagai penguatan identitas dan jati diri masyarakat hukum adat, tetapi juga dapat dikemas untuk mendukung pengelola hutan adat.
“Kedepan harapannya objek kebudayaan bisa dikemas dan bersumbangsih terhadap kesejahteraan masyarakat pengelolaan hutan,” kata Adi Junedi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi dan leader Konsorsium Siginjai.
Ia mengatakan Desa Rantau Kermas di Jambi merupakan contoh yang sangat baik tentang bagaimana hutan adat dapat mendukung kesejahteraan masyarakat. Masyarakat Desa Rantau Kermas telah mempraktikkan sistem pengelolaan hutan yang selaras dengan kearifan lokal dan budaya adat, yang berhasil menjaga keberlanjutan hutan sekaligus memenuhi kebutuhan ekonomi dan sosial. Seperti pengembangan imbal jasa lingkungan melalui ekowisata dan pengembangan usaha komunitas berbasis potensi yang terdapat di sekitar hutan adat.
Hutan Adat Mampu Menekan Kerusakan Hutan di Provinsi Jambi
Melalui aturan adat terbukti mampu dalam menjaga kelestarian hutan. Provinsi Jambi mengalami kebakaran hutan setiap tahunnya, namun kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat melalui hutan adat lestari. Misalnya di Lekuk 50 Tumbi Lempur hutan adat yang disebut dengan Imbo Hulu Ayek merupakan daerah yang tidak boleh diganggu gugat sama sekali. Hutan adat seluas 858 hektar dibiarkan menjadi wilayah resapan air dan menjaga keseimbangan lingkungan di Lekuk 50 Tumbi.
“Hutan adat tidak bisa diganggu sama sekali. Dari hutan adat kemudian dibentuk pengaliran air bersih ke setiap rumah. Yang mana masyarakat hanya perlu iuran senilai Rp100.000 per tahun,” kata Amris Khahar ketua adat Lekuk 50 Tumbi Lempur.
Aturan adat memainkan peran penting dalam menjaga kelestarian hutan adat karena aturan ini mengatur interaksi masyarakat dengan lingkungan hutan, memadukan nilai-nilai kearifan lokal dengan praktik yang berkelanjutan. Pengelolaan hutan berbasis hutan adat terbukti menekan kerusakan hutan di Provinsi Jambi. Kebakaran hutan dan lahan dan hutan terjadi berulang di Jambi sepanjang tahun 2024 melanda beberapa kabupaten seperti Muaro Jambi, Batanghari, dan Tebo. Pengelolaan hutan yang memperhatikan keseimbangan alam dan diperburuk dengan faktor-faktor seperti kemarau panjang fenomena El Niño dan krisis iklim membuat kawasan hutan rentan terhadap kebakaran.
“Di Jambi terjadi kebakaran hutan yang berulang, di tahun 2015 dan 2019 terjadi kebakaran hutan dan lahan. Namun, tidak ada data yang menunjukkan kebakaran tersebut terjadi di hutan adat,” kata Fajrias Akademisi Kehutanan Universitas Jambi.
Hutan adat menawarkan pendekatan berbeda dalam pengelolaan dan pelestarian lingkungan karena dikelola langsung oleh masyarakat adat dengan aturan lokal yang ketat. Masyarakat adat biasanya menerapkan nilai-nilai yang berakar pada kelestarian lingkungan dan menjaga hubungan yang harmonis dengan alam. Dengan sistem pengelolaan yang mengutamakan pemantauan dan pencegahan kebakaran, hutan adat terbukti efektif sebagai alternatif untuk mencegah kerusakan hutan, terutama dibandingkan dengan konsesi industri yang fokus pada keuntungan ekonomi. Pendekatan ini memperlihatkan bahwa pelestarian hutan melalui pengelolaan adat bisa menjadi solusi dalam menghadapi ancaman kerusakan hutan.
“Kondisi ini semestinya membuat pemerintah yakin dalam memberikan pengakuan hutan adat pada masyarakat adat,” katanya lebih lanjut.
Tantangan Pengakuan Hukum atas Hutan Adat di Jambi
Meskipun data menunjukkan hutan adat berperan penting dalam menjaga kelestarian hutan. Namun, pengusulan untuk mendapatkan pengakuan hukum adat cenderung lebih rumit dan mandek dibandingkan persetujuan perhutanan sosial skema lainnya, seperti hutan desa. Proses pengakuan hutan adat melibatkan berbagai institusi pemerintah, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pemerintah daerah, dan lembaga adat. Setiap instansi memiliki prosedur administrasi yang kompleks dan sering kali saling tumpang tindih, menyebabkan proses menjadi berlarut-larut.
Di Provinsi Jambi saat ini ada 15 masyarakat hukum adat di 4 Kabupaten di Jambi menunggu pengakuan hutan adat. Progress untuk mendapat pengakuan hutan adat ini terkendala oleh beberapa syarat administrasi, seperti belum ada peraturan daerah mengenai tata cara pengakuan masyarakat hukum adat, penyelesaian batas wilayah yang belum final, hingga menunggu tahapan verifikasi dari kementrian.
“Verifikasi hutan adat cenderung lambat karena mengalami persoalan teknis, seperti dana operasional di Kementerian hanya mampu biaya verifikasi MHA 18 hutan adat dalam satu tahun,” kata Panahatan Sihombing Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Ahli Madya Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup saat gelar wicara .
Menghadapi persoalan, ia menilai pentingnya ada kolaborasi multipihak dalam mempercepat proses pengakuan hutan adat. Termasuk dalam pembiayaan proses pengakuan hutan adat.
“Pemerintah daerah dapat turut berpartisipasi dalam pembiayaan proses pengusulan hutan adat,” katanya.
Sumber data: Data Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK.
Kolaborasi multipihak ini berperan penting dalam mempercepat proses pengakuan masyarakat hutan adat. Selain itu, kolaborasi multipihak memastikan bahwa pengelolaan hutan adat tidak hanya berkelanjutan secara ekologi tetapi juga menguntungkan masyarakat adat secara sosial dan ekonomi.(*)
10 program kesehatan Utama Romi-Sudirman Terpilih Jadi Gubernur dan Wakil Gubernur Jambi
KPK Beri Peringatkan Soal Alotnya Pembahasan KUA-PPAS APBD Jambi, Ketua DPRD: Biasa Saja
Dewan Sepakati Rancangan KUA-PPAS APBD Provinsi Jambi TA 2025 Sebesar Rp4,471 Triliun
SAH Tegaskan Prabowo Utamakan Jaminan Kesehatan Masyarakat Desa
Ivan Wirata Sebut APBD Provinsi Jambi Bukan Defisit, Tapi Menurun
Jadi SUV Kebanggaan, New Honda ADV160 Semakin Gagah dan Canggih